Di hutan belantara Papua, hiduplah seekor Cendrawasih. Bulunya kusam dan kurang menarik. Sayapnya lemah dan tak bisa terbang tinggi.
Suatu hari, ketika Cendrawasih sedang mandi di sungai, Nuri dan Kakaktua kebetulan sedang bertengger di pelepah pohon sagu di pinggir sungai itu. Mereka pun mulai mengejeknya.
“Hai, Cendrawasih, percuma kamu mandi. Lihatlah bulumu tetap kusam. Tidak seperti bulu kami yang sangat indah,” ejek Nuri sambil menari-nari memamerkan keindahan bulunya.
“Kamu memang malang, Cendrawasih,” kata Kakaktua. “Selain bulumu jelek, kamu juga tidak bisa terbang tinggi. Sebentar lagi kamu pasti terkena panah pemburu.”
Baru saja Kakaktua selesai berbicara, tiba-tiba sebuah anak panah melesat dan hampir mengenainya. Nuri dan Kakaktua pun sangat ketakutan. Mereka cepat-cepat terbang dan bersembunyi di pepohonan yang sangat tinggi hingga tak terjangkau lagi oleh panah para pemburu.
Cendrawasih juga sangat ketakutan. Tetapi dia tidak bisa terbang setinggi Nuri dan Kakaktua, apalagi bulu-bulunya masih basah. Dia pun hanya bisa berlari dan bersembunyi di balik batu. Tapi dia beruntung, pemburu itu ternyata tak melihatnya.
Ketika pemburu pergi, Cendrawasih pun perlahan-lahan keluar dari persembunyiannya. Saat itulah dia melihat Kasuari tua berjalan tertatih-tatih sambil menahan rasa sakit. Ada anak panah menancap di sayapnya. Cendrawasih pun bergegas menghampiri Kasuari tua itu. “Nenek Kasuari, mari saya tolong. Kita bersembunyi di balik bebatuan itu,” kata Cendrawasih.
Lalu, dengan paruhnya, Cendrawasih mencabut anak panah yang menancap di sayap Kasuari tua itu. Darah pun mengucur. Cendrawasih segera mengambil rerumputan obat di pinggir sungai. Lalu ia menghaluskan rerumputan obat itu dengan paruhnya dan membubuhkannya pada luka Kasuari itu. Darah pun tak mengalir lagi.
“Terima kasih, Cendrawasih,” kata Kasuari. “Kamu memang anak baik. Kalau tidak ada kamu, nenek pasti sudah mati.”
“Bukankah kita harus saling menolong, Nenek Kasuari?”
“Betul, Cendrawasih. Kita memang harus saling menolong. Dan karena kamu sudah menolong Nenek, Nenek akan memberi kamu hadiah.”
“Hadiah? Tapi saya menolong nenek bukan karena saya mau minta hadiah…”
“Nenek tahu, kamu memang tidak mengharapkan hadiah. Justru karena itulah kamu pantas mendapatkan hadiah.”
Lalu Kasuari tua itu mengangkat sayapnya. Di bawah sayapnya itu ternyata tersimpan seikat bulu warna-warni yang sangat indah. “Bulu-bulu ini untukmu, Cendrawasih. Pasanglah di tubuhmu.”
“Wah, indah sekali. Terima kasih, Nenek,” kata Cendrawasih dengan girang. Ia pun segera memasang bulu-bulu itu satu persatu.
“Lihatlah. Kamu cantik sekali, Cendrawasih,” kata Kasuari setelah Cendrawasih selesai memasang semua bulu itu.
“Terima kasih, Nenek Kasuari. Saya senang sekali dengan bulu-bulu indah ini.”
“Sekarang kamu juga bisa terbang tinggi, Cendrawasih. Terbanglah dan bermainlah bersama Nuri dan Kakaktua. Maafkan mereka karena mereka tidak mengerti apa yang mereka perbuat padamu.”
“Iya, Nenek Kasuari, saya memaafkan mereka.”
“Dan satu lagi, Cendrawasih. Walaupun bulumu indah dan sangat dikagumi, tetaplah rendah hati, dan jadilah penolong yang baik hati.”
“Iya, Nenek Kasuari, saya akan selalu ingat pesan itu.”
Sejak saat itu, Cendrawasih menjadi burung yang sangat dikagumi. Bukan hanya karena bulunya yang sangat indah, tetapi juga karena ia tetap rendah hati dan suka menolong. Walaupun bulunya sangat indah, ia mau berteman dengan siapa saja dan mau menolong siapa saja, termasuk Nuri dan Kakaktua.
Nuri dan Kakaktua pun meminta maaf kepadanya. Mereka kini hidup rukun dan saling menolong di hutan itu. Tidak ada yang suka mengejek lagi.