Penulis: Hanif Nur Anisa Dewi
“Iya-iya, sebentar aku kesana sekarang, tunggu dulu” tuuut. Setelah mematikan telfon dari temannya, Nafisa segera memakai sepatunya dan buru-buru pergi dari masjid kampusnya. Tiba-tiba, bruuuukkk.. seseorang menabraknya, buku-bukunya pun jatuh berceceran.
“Aduh, maaf mbak saya sedang buru-buru, maaf” ucap seorang pria yang menabraknya tadi sambil membantu Nafisa membereskan buku-bukunya.
“Iya, tidak apa-apa mas, terimakasih” kata Nafisa setelah selesai membereskan buku-bukunya dan langsung buru-buru pergi meninggalkan pria tersebut. Nafisa adalah seorang mahasiswi semester akhir di sebuah kampus negeri di Kota Yogyakarta. Selain terkenal sebagai mahasiswi yang berprestasi, dirinya juga dikenal aktif dalam organisasi di kampus.
Bagi teman-temannya, mahasiswi cantik berambut pirang itu adalah sosok yang menyenangkan, namun sedikit tertutup untuk urusan pribadinya. Baginya, apa yang dia alami di hidupnya, biarkan hanya dia yang tahu dan orang lain tak perlu mengetahuinya.
Siang itu adalah hari yang menyebalkan bagi Nafisa, bagaimana tidak? Dia sudah membuat janji bertemu dengan dosen untuk mengonsultasikan laporannya, namun tiba-tiba dibatalkan begitu saja padahal sedari pagi ia sudah menunggu di perpustakaan. Nafisa yang sudah menunggu sejak pagi pun hanya bisa mengumpat tak karuan karena
kekesalannya.
“Mbak, boleh dipelankan suaranya? Takut mengganggu pengunjung perpustakaan lain yang sedang belajar” seorang pria dibelakangnya tiba-tiba menegurnya.
Ia pun menoleh. “loh, Mbak kan yang kemarin itu kan?” sambung pria itu.
Nafisa yang tidak tahu siapa dia pun mencoba mengingat-ingat siapa pria itu, dan akhirnya dia tak juga bisa mengingatnya. “Siapa ya mas? Saya lupa, hehehe”
“Saya yang kemaren nabrak Mbak waktu di masjid. Kayaknya Mbak sedang buru-buru jadi mungkin nggak lihat Saya kemarin” jelas pria itu.
“Oalah, iya ingat mas, iya kemarin saya buru-buru ada janji sama temen. Oh iya, kenalin, Saya Nafisa mas, mahasiswi semester akhir jurusan manajemen. Mas sendiri?” Nafisa mengulurkan tangannya untuk bersalaman, namun pria itu tidak mengambil uluran tangan Nafisa dan memberi salaman secara Islami. “Wah, Mas ini kayaknya agamis
banget deh” batin Nafisa.
“saya Ahmad, Mbak” pria bertubuh tinggi dan berkulit putih itu memperkenalkan dirinya sambil tersenyum manis. Entah kenapa Nafisa merasa gugup kemudian.
“kuliah disini juga Mas? Jurusan apa?” tanya Nafisa untuk mengalihkan kegugupannya.
“saya udah Alumni tahun 2015 mbak, kebetulan saya sedang ada urusan disini, makanya saya main ke kampus, hehehe. Oh iya, tadi kenapa kok ngomel-ngomel sendiri?” tanya Ahmad.
“tadi Mas, awalnya ada janji mau ketemu dosen, tapi tiba-tiba dibatalkan gitu aja, la aku kan jadi sebel tho Mas” jelas Nafisa dengan ekspresinya yang masih menunjukkan kekesalan.
“hahaha, yowis-yowis daripada ngomel nggak jelas gitu, mending ikut Aku saja ke kajian mingguan di Masjid Kampus. Kan kamu juga nggak jadi ketemu sama dosen kan daripada nggak ada kerjaan”
Mendengar ajakan Ahmad, Nafisa tidak lagsung menjawabnya. Sudah sejak lama Ia tidak pernah mengikuti kajian-kajian dan sejenisnya. Nafisa memang bisa dibilang bukan orang yang religius. Sejak kecil, kedua orang tuanya yang sibuk bekerja, tak sempat mengajarkannya ilmu agama secara mendalam.
Ia belajar agama hanya melalui pelajaran PAI di sekolah, itu pun sangat terbatas, hanya tentang wudhu, sholat, dan sebagainya. Jangankan ikut kegiatan keagamaan di sekolah atau di kampus, sholatnya pun masih bolong-bolong dan Ia belum bisa mengaji.
“eh… maaf Mas, kayaknya kalau hari ini Aku ndak bisa soalnya aku baru ingat ada janji lagi sama temen aku. Lain kali aja ya Mas hehehe” kata nafisa memberikan alasan.
“yasudah kalau gitu, aku duluan ya Naf, sudah mau dimulai ini kayaknya. Assalamualaikum” pamit Ahmad kemudian pergi meninggalkan Nafisa.
Sampai di rumah, Nafisa masih kepikiran dengan Mas Ahmad. Sejak bertahun-tahun lalu, baru tadi siang ada orang lagi yang mengajaknya untuk mengikuti kajian Islami. Terakhir Ia mengikuti kajian Islami adalah saat Ia kelas X SMA, itupun karena diwajibkannya siswa kelas X untuk mengikuti kegiatan kajian tiap minggu.
Mas Ahmad, good looking, cerdas, supel, dan kelihatannya sholeh.. oh mengapa tiba-tiba Ia memikirkan Mas Ahmad? Ah, kenapa tadi Ia tak meminta nomor telepon Mas Ahmad ya? Batinnya dalam hati. Esoknya, Ia pergi ke masjid kampus. Entah mengapa Ia tiba-tiba ingin mampir ke masjid kampus sebelum Ia ada kelas kuliah, padahal sebelumnya Ia sangat jarang berada di masjid.
Mungkin karena ingin bertemu Mas Ahmad? Tidak-tidak, bukan itu. Tapi bisa jadi iya, namun Ia tidak mau mengakuinya. Dan benar saja, di sana, Ia melihat Mas Ahmad sedang duduk di teras masjid sambil membaca buku. Nafisa pun menghampirinya.
“hai Mas Ahmad” sapa Nafisa
Ahmad mendongakkan kepalanya dan meletakkan bukunya saat melihat Nafisa. “waalaikumsalam..” kata Ahmad sambil tersenyum menyindir Nafisa yang tidak mengucapkan salam.
“eh iya, assalamualaikum Mas, hehehe” ucap Nafisa sambil senyum-senyum.
“wa’alaikumsalam. Nah gitu dong, kalau ketemu orang itu salam dulu. Oh iya tumben kamu ke masjid, ada acara dimasjid?” tanya Ahmad.
“hehehe, nggak ada mas, tadi niat mampir main dulu ke masjid sebelum ke kelas” jawab Nafisa.
“lah, ke masjid kon Cuma mapir main thok, ke masjid itu buat ibadah. Apa jangan-jangan kamu mau ketemu aku ya, hahaha” goda Ahmad, yang seketika membuat pipi Nafisa merona.
“ah, Mas Ahmad ini apa tho, oh iya mas, aku pengen ikut kajian nih kapan-kapan kalo lagi nggak ada kerjaan daripada nganggur hehehe.” Kata Nafisa.
Betapa senangnya Ahmad mendengar ada yang mau bergabung lagi dengan kajian yang diadakan oleh lembaga pengurus masjid di kampusnya itu, karena memang minat mahasiswa untuk mengikuti kajian bisa dibilang masih rendah.
Maka, Ia langsung menjawab, “wah bagus itu, kebetulan besok kita ada kajian rutin mingguan tiap hari
minggu. Langsung datang aja kesini besok pagi jam 8”
“oh gitu mas, oke deh aku dateng besok, insyaAllah. Oh iya Mas, boleh minta kontaknya, kalau sewaktu-waktu aku pengen tanya-tanya tentang keagamaan yang aku belum paham?” kata Nafisa.
Mereka pun bertukar nomor telepon, setelah itu Nafisa berpamitan kepada Ahmad karena setengah jam lagi kelasnya akan dimulai.
Pagi ini, Nafisa bangun lebih pagi daripada biasanya. Meskipun begitu, saat jam sudah menunjukkan pukul 07.00 ia belum juga menemukan pakaian apa yang cocok untuknya. Bagaimana tidak? Semua bajunya adalah baju berlengan pendek dan celana jeans! Putus asa, Ia pun pergi ke kamar Nia, teman kosnya untuk meminjam baju muslim.
Ia bergerak cepat karena sedari tadi Ahmad sudah menelfonnya. Untuk pertama kalinya, Ia merasa tidak percaya diri berjalan ke kampus. Ia yang biasanya memakai baju-baju kekinian, sekarang memakai baju gamis yang membuatnya
tidak leluasa berjalan. Banyak mata yang memandangnya aneh dan membuatnya tidak nyaman. Ia berusaha tidak mempedulikannya dan bergegas menuju masjid.
“assalamualaikum” katanya, sambil buru-buru masuk ke masjid. Di sana Ahmad sudah menunggunya.
“waalaikumsalam, aduh kamu ini udah kaya putri keraton saja lama banget, ayo sudah mau dimulai ini” kata Ahmad.
Kajian yang diadakan di masjid ini dipisah antara laki-laki dan perempuan. Tema yang dibahas pada hari ini adalah tentang pentingnya bagi seorang wanita muslim untuk menutup auratnya. Nafisa mulai mendengarkan pengisi dengan sungguh-sungguh.
Entah mengapa, hati kecilnya sedikit terketuk setelah mendengar kajian hari ini.
Seusai kajian, Ia bergegas keluar masjid, dan Ahmad menghampirinya. “gimana Naf, bermanfaat kan ikut kajian seperti ini?” tanya Ahmad. Namun, bukannya menjawab,
Nafisa malam melamun. “hai, haloooo. Naf, kok malah melamun sih?” kata Ahmad sambil melambai-lambaikan tangannya di depan muka Nafisa.
“eh.. anu, nggakpapa Mas. Aku hanya.. sudah lama tidak ikut kajian seperti ini. Aku merasa hidupku selama ini tanpa arah Mas” Nafisa bercerita sambil menerawang menghayati bagaimana hidupnya selama ini.
“loh, kenapa? Bukannya kita hidup sebagai umat islam sudah jelas arahnya tho Naf? Ada Gusti Allah, ada Rasulullah sebagi panutan kita, ada Al-Quran sebagai pedoman kita, terus kurang apa lagi?” Ahmad mulai bingung dengan apa yang dimaksud oleh Nafisa.
“sebenarnya Mas, hidupku selama ini bisa dibilang jauh dari Agama. Sejak kecil, aku tidak pernah diajarkan oleh kedua orang tuaku tentang ilmu agama secara mendalam. Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Aku belajar sholat saja hanya dari pelajaran Agama di sekolah. Mengaji pun aku tidak bisa mas. Apalagi dengan penampilanku ini, setelah mengikuti kajian tadi, aku baru sadar Mas, kalau ternyata bagi wanita muslim itu sangat-sangat diwajibkan untuk menutup auratnya. Aku merasa sudah terlalu lama aku jauh dari-Nya Mas. Aku ingin belajar Islam lebih dalam lagi Mas” kata Nafisa.
“alhamdulillah, sekelam apapun masa lalumu, tapi sekarang kamu sudah ada niatan untuk berubah kan. InsyaAllah aku bisa membantu Nafisa untuk belajar Islam” kata Ahmad sambil tersenyum. Nafisa hanya tersenyum dan mengangguk.
Setelah hari itu, setiap hari Nafisa belajar mengaji dan sholat bersama Ahmad. Selain itu hal-hal yang berkenaan dengan agama lainnya. Entah mengapa, Ia merasa lebih tenang, dan Ia merasa bahwa Ia pun merasa nyaman dengan Ahmad.
Ahmad lah yang menjadikannya seperti ini sekarang. Namun, apakah Ahmad akan suka dengan
seorang wanita yang agamanya masih lemah sepeti dia? Ah sudahlah, Ia akan terus berusaha untuk memantaskan dirinya agar pantas bersanding dengan Ahmad, seorang laki-laki sholeh, hafidz 15 juz, cerdas, mapan, dan imam-able. Sedikit demi sedikit Nafisa mulai mengubah dirinya untuk berpakaian layaknya muslimah sejati.
Namun disitulah godaan mulai datang. Omongan-omongan orang-orang disekelilingnya tentang
perubahannya sedikit membuatnya tidak nyaman. Bahkan, hampir saja Ia hendak berhenti untuk mengenakan pakaian muslimah dan mengikuti kajian karena tak tahan dengan omongan pedas orang lain yang menganggap Ia hanya melakukan sebuah pencitraan.
Namun, Ahmad selalu mengingatkannya untuk meluruskan niatnya kembali. Sebulan, dua bulan berlalu, berkat bimbingan Ahmad, Nafisa sudah tidak bolong-bolong sholatnya dan melakukan sholat hingga puasa sunah, mengaji pun juga rutin walaupun masih terbata-bata, dan Ia aktif di kepengurusan masjid sekarang.
Sampai akhirnya, Ahmad mengajaknya bertemu. Nafisa khawatir apa yang akan dismpaikan oleh Ahmad,
karena katanya sangat penting.
“Naf, aku mau pamit ya. Urusanku disini sudah selesai dan aku akan melanjutkan studi ku di Kairo” mendegar perkataan Ahmad, Nafisa seketika terdiam. Ada perasaan sedih di hatinya, bahwa Mas Ahmad akan jauh darinya. Bagaimana dia akan terus istiqomah pada pendiriannya yang masih sering labil tanpa semangat dan wejangan dari
mas Ahmad?
“pesanku Naf, jangan goyah. Tetaplah istiqomah dijaln-Nya, tak perlu mendengarkan kata orang selama apa yang kamu lakukan benar. Jangan sungkan menghubungiku jika ada masalah, InsyaAllah aku kan senang membantu.” Kata Ahmad.
Nafisa hanya tersenyum dan mengiyakan kata-kata dari Mas Ahmad. Tak terasa sebulan sudah Mas Ahmad pergi ke Kairo meninggalkan Yogyakarta. Entah mengapa, sejak kepergian Mas Ahmad, semangat Nafisa untuk mengkaji agama semakin turun.
Beberapa kali Ia tidak datang ke kajian mingguan, sat ditanya oleh Nia, teman satu kos dan kepengurusan Masjid, Ia menjawab hanya sedikit lelah dan ada urusan mendadak. Begitu seterusnya, setahun, dua tahun, tiga tahun, hingga suatu pagi Ia menerima sebuah surat berperangko Arab. Langsung tersirat dalam pikirannya, Mas Ahmad! Ia bergegas masuk ke kamarnya dan membuka surat itu.
Betapa bahagianya Ia setelah membaca surat itu, karena ternyata Mas Ahmad dapat menyelesaikan studinya lebih cepat dan bulan depan Ia akan kembali ke Jogja. Itu artinya Ia akan segera bertemu dengan Mas Ahmad. Ia terus membaca surat itu, hingga pada akhir dari surat itu membuat hatinya mendadak hancur. Bahwa, sekembalinya Mas Ahmad dari Kairo mas ahmad akan menikah, dengan wanita lain.
Seorang wanita asal Jogja juga yang menjadi teman Kuliahnya di Kairo. Lemas seketika ketika Ia membuka undangan pernikahan Mas Ahmad yang terlampir didalam amplop surat itu. Mas Ahmad, laki-laki yang telah mengubahnya menjadi seperti ini, laki-laki yang membuatnya jatuh hati, dan rela menunggunya, kita tak mungkin lagi Ia harapkan.
Ia menangis, mengapa Allah tidak adil? Padahal Ia telah berusaha mengubah dirinya menjadi wanita sholehah, tapi mengapa Ia malah diajuhkan dari salah satu kebahagiaannya, Mas Ahmad. Berhari-hari, Nafisa merenung, apa salahnya? Ia mulai putus asa kembali. Sudah tidak ada lagi alasan baginya untuk belajar agama lagi, karena bagaimanapun, Mas Ahmad tidak akan memilihnya. Sampai akhirnya, Nia datang menghampirinya, menanyakan apa sebenarnya yang membuat Ia seperti ini. Nafisa pun menceritakan semuanya.
“Naf, jika kita ingin berubah istiqomah dijalannya, niatkan semua itu hanya karena Allah. Berhijrah itu, ikhlas lillahita’ala, bukan karena untuk orang lain. Jika kamu ikhlas berhijrah untuk Allah, insyaallah tidak akan ada alasan bagimu untuk tidak beristiqomah di jalan-Nya, sekalipun kamu kehilangan apa yang selama ini mebuatmu ingin berhijrah. Niatkan itu dari dalam hatimu, niat berhijrah karena memang kita ingin lebih dekat dengan Allah, bukan untuk niat yang lain, apalagi hanya untuk mendapat perhatian dari orang yang kita suka” Nia menasehati dan menyemangati Nafisa, agar perjuangnnya untuk berhijrah selama ini tidak berhenti.
Nafisa mulai memikirkan kembali apa yang diucapkan oleh Nia, dan Ia mulai menyadari bahwa selama ini Ia salah. Ia tak benar-benar berniat berhijrah untuk Allah, melainkan hanya ingin kesenangan duniawi. Astahfirullah, betapa menyesalnya Nafisa.
Ia menagis menyesali perbuatannya. Ia pun kembali merenungi apa yang sebenarnya ia butuhkan. Apa alasannya untuk berhijrah. Dan InsyaAllah, sedikit demi sedikit Ia berusaha memperbaiki dirinya kembali. Ia pun berjanji pada dirinya untuk terus istiqomah meniti jalan-Nya. Malam pun datang, digelarnya sajadah panjang miliknya, Ia pun kembali bersimpuh di hadapan-Nya, dengan niat yang lurus, ikhlas karena-Nya.