Aku yang Baru

Aku yang Baru

Penulis : Widyananda Dyah Wulandari

Pagi ini suasana di kelas ramai seperti biasanya, ya ini karena waktu istirahat baru saja dimulai. Aku yang entah kenapa sedang malas pergi ke kantin menolak ajakan teman-temanku untuk membeli makan atau sekedar duduk dan memesan sebotol air mineral. Di kelas hanya ada aku dan beberapa anak yang tidak akrab denganku jadi aku
duduk saja di bangku ku dan tidak beranjak sedikit pun.

“Assalamualaikum Cit, aku duduk sini boleh?” Tiba-tiba sebuah suara yang ku kenal mengejutkanku dari belakang.

“Eh ya ampun Bin, kamu bikin aku kaget loh. Silakan duduk aja” Aku pun bergeser sedikit memosisikan diri menghadap Bintang, temanku itu.

“Salamku ga dijawab Cit?” Sekedar informasi, namaku Citra. Citra Azzahra.  Seorang murid tingkat akhir di SMA dengan muka lonjong, hidung mancung, rambut panjang dan kulit sawo matang. Kata orang rambutku itu bagus dan itu menambah nilaiku di mata orang lain.

“Oh iya, waalaikumsalam Bin. Sampe lupa jadinya.” Aku pun menjawab salam Bintang yang tentu saja sudah sangat telat itu.

“Hehe maaf deh, kapan-kapan sekalian langsung ku tepuk aja pundakmu dari belakang.”

“Ealah itu malah lebih horor Bin. Yang wajar aja lah, dateng dari depan, biar langsung keliatan.”

“Hahaha, kok lucu sih, horor gitu ya? Wkwkwk.”

“Ih ketawanya model sms, wkwk. Dasar alay.” Kami saling bercanda dan tertawa bersama, sampai akhirnya Bintang menyinggung tentang aku yang tidak menggunakan hijab ini. Memang di kelas ku hanya aku yang tidak memakai hijab.

“Lah emang kenapa Bin? Jaman sekarang orang pake hijab cuma buat ngikutin tren, enggak bener-bener hijrah ke arah yang lebih baik. Lagian orang yang pake hijab juga bikin aku sebel, di sekolah aja belagak alim pake hijab, begitu main ke luar hijabnya dilepas, belum lagi yang pake hijab tapi nyinyirnya udah number one, enggak ada tandingannya. Terus aku juga ngerasa belum siap, aku masih begini orangnya, belum pantes pake hijab.”

Aku mendebat Bintang. “Cit, dalam Islam wajib hukumnya buat menutup aurat, urusan kelakuannya, sifatnya, apa yang dia lakuin, itu beda. Sekali lagi, itu sebuah keharusan Cit, entah kamu siap atau enggak, dan lagi ini identitas seorang perempuan muslim” Ceramah Bintang berhenti sampai di situ karena bel sudah berbunyi.

“Maaf kalo kamu sebel ke aku Cit, aku Cuma ngingetin sebagai sesama perempuan. Assalamualaikum”

“Waalaikumsalam.” Aku menjawab salamnya lirih. Jujur aku benci diceramahi tapi aku merasa apa yang dikatakannya itu penting, dan dia benar. Tapi aku terlalu gengsi untuk mengaku salah.

Hari ini aku berangkat sekolah tanpa diantar. Biasanya ayah yang mengantarku tapi hari ini dia ada rapat dadakan yang harus disiapkan dari pagi sekali. Aku berjalan dari rumah ke terminal di dekat rumahku lalu dari sana aku naik angkot yang nantinya aku akan langsung diturunkan di depan gerbang sekolah. Dari rumah ke terminal memang agak jauh, tapi ya apa mau dikata, aku tidak bisa naik motor sendiri dan ayah berangkat sebelum aku mandi jadi aku bahkan tidak akan sempat diantar ke terminal.

Sampai di terminal entah kenapa terminal sepi dan ini membuatku agak was-was. Ya bukan apa- apa sih tapi kan sekarang banyak kasus pencurian, penculikan, bahkan perkosaan di tempat umum. Aku pun mencoba waspada sambil mencari angkot yang belum datang juga. Maklum aku adalah anak dari desa kecil, jadi untuk ke sekolah yang ada di kota harus sabar menunggu angkot yang tak seberapa itu datang. Setelah kira-kira sepuluh menit menunggu, seorang anak laki-laki seusiaku yang aku kenal dari seragamnya adalah anak SMA yang ada di desaku ini menghampiriku, motor bebek yang sudah dipermak sana-sini membuat dia sangat jelas terlihat sebagai anak motor.

“Neng lagi nunggu angkot ya? Sama abang aja, entar abang anterin sampe tujuan kok, tenang aja.” Lelaki itu turun dari motornya dan semakin mendekat. “Kok diem aja sih? Sok amat mentang-mentang anak SMA kota.” aku yakin dia pasti juga memerhatikan seragamku jadi dia tahu dimana sekolahku. Belum sempat dia semakin dekat, angkot yang ku tunggu akhirnya tiba, secepat kilat aku naik ke angkot dan karena angkot penuh jadi angkot langsung jalan tanpa menunggu penumpang lain.

Di situ aku merasa sangat bersyukur dan sangat lega saat sudah duduk, akhirnya aku bisa pergi dari seorang pengganggu yang tidak ku kenal. Jujur aku takut setengah mati, tapi untungnya semua sudah selesai sekarang. Sampai di sekolah, aku langsung berbagi cerita pada temanku yang lain dan mereka berkali-kali menenangkanku.

Begitu seterusnya sampai pulang sekolah. Mereka yang notebene dijemput atau nebeng pulang duluan sementara aku yang masih trauma memutuskan untuk menunggu ayah entah sampai jam berapapun. Beberapa dari mereka sudah menawarkanku ikut motor mereka tapi aku kekeuh menunggu ayah. Sekarang yang paling aman adalah pulang bersama ayah, begitu pikirku. Hampir pukul empat sementara kami hari ini pulang pukul dua. Dua jam aku menunggu sendiri di sini dan ayah beberapa kali mengirim pesan untuk pulang sendiri tapi aku tidak mau. Aku memang tidak cerita pada orang tua ku karena aku tidak mau membuat mereka khawatir terus.

“Citra belum pulang? Mau pulang jam berapa Cit?” Bintang datang dari balik pintu dan langsung mengambil tempat duduk di depanku.

“Loh kamu sendiri belum pulang Bin? Ngapain?” tanyaku.

“Aku? Aku abis ada urusan rohis. Kamu enggak papa kan Cit?” Aku tahu hampir seluruh kelas tahu kejadian tadi karena aku yang memang terlihat sangat heboh.

“Aku udah enggak kenapa-napa kok Bin, Cuma rasanya masih belum tenang aja, aku lebay ya Bin? Cuma digituin aja takutnya setengah mati.”

“Alhamdulillah kalo udah agak mendingan gitu. Enggak kok Cit, kamu enggak lebay, justru bagus, kamu masih ada rasa takut sama laki-laki, coba bayangin perempuan di luar sana yang bisa aja malah seneng banget digodain, itu malah aneh Cit. Ya kan?”

“Gitu ya Bin? Kamu mikirnya begitu?” tanyaku pada Bintang.

“Ya iyalah Cit. Harusnya kamu bersyukur, kamu masih punya rasa malu, rasa takut, berarti kamu masih perempuan bener. Dan kamu juga harus bersyukur karena Allah masih terus ngelindungin kamu.”

“Apa yang harus aku lakuin Bin? Rasanya masih takut kalo ada kejadian itu lagi” Aku meminta saran karena aku memang benar-benar tidak tahu apa yang harus ku lakukan.

“Boleh aku saranin sesuatu?” Tanya Bintang hati-hati. “Apa itu?” “Kamu siap hijrah?” Aku tahu maksudnya, dia ingin aku berhijab. Sampai di situ aku diam. Aku tidak mengiyakan atau menolaknya. Tepat saat itu juga ayah SMS dia sudah sampai di depan.

“Aku udah dijemput, aku duluan ya.” Sepanjang perjalanan pulang aku terus memikirkan perkataan Bintang. Ini membuatku semakin tidak tenang. Malamnya ketika aku selesai sholat aku langsung mencari semua hijab yang ku
punya, aku mencobanya satu-satu dan mematut diri di depan cermin. Rasanya sangat sejuk melihat diriku sendiri berhijab di depan cermin. Rasanya berbeda dari biasanya, aku merasa lebih tenang. Apakah ini yang membuatku tidak tenang selama ini? Apa iya aku harusnya berhijab sekarang? Pertanyaan yang sekarang muncul di benakku tidak lebih dari seputar itu, semuanya adalah pertanyaan yang jawabannya aku tahu sendiri, akumemang harus berhijab.

Besoknya aku turun dari kamar lengkap dengan hijabku. Ayah dan ibu bahkan sempat heran melihatku memakai hijab, tapi mereka tidak berkomentar apa-apa, mereka hanya menunjukan bahwa mereka mendukung keputusanku dengan hanya tersenyum dan diam, begitulah mereka. Mereka tahu aku terlalu malu untuk dikomentari, mereka memang orang tua terbaik.

“Sayang, nanti ayah enggak bisa nganter kamu lagi ya, ayah ada urusan mendadak lagi, enggak sempet kalo ke sekolahmu, muter-muter nanti.” Sekali lagi, tepat sehari dari kemarin, hal ini lagi. Aku masih takut kalau-kalau terjadi apa-apa tapi aku merasa tenang, padahal dengan apa yang terjadi kemarin harusnya aku takut dan merengek minta diantar.“Oke yah, aku pake angkot aja, lagian udah gede gini masa ga berani.”

Dan begitulah sampai akhirnya aku ada di terminal lagi. Terminal yang sama yang membuatku takut kemarin, tapi dengan aku yang baru. Aku yang kini sudah berhijab dan merasa lebih tenang. Beberapa kali ada orang lewat dan aku menyapa mereka ramah atau minimal menganggukkan kepala sambil tersenyum. Ini membuatku lebih tenang, sampai tiba-tiba lelaki dengan motor kemarin datang lagi.

Kali ini dia berhenti tepat di sebuah warung dan melihat ke arahku. Aku hanya menganggukkan kepala dan tersenyum ramah kepadanya tepat saat dia memalingkan mukanya sehingga aku yakin dia tidak melihat senyumku, sepertinya dia tidak ingat aku dan ini membuatku lega. Aku merasa kemarin adalah cara Allah menegurku untuk segera berhijrah dan alhamdulillah aku segera sadar akan hal itu. Semua terasa lebih mudah sekarang. Aku lebih tenang dan bersyukur padanya. Aku berterima kasih pada lelaki itu. Kalau tidak ada dia mana mungkin aku bisa sadar?

Oh ya, aku juga harus berterima kasih pada Bintang. Dia juga lah yang membuatku berpikir untuk berhijab. Walau semua keputusan untuk berhijab ada padaku, tapi pada prosesnya aku memang diyakinkan oleh mereka dan itu berhasil membuatku menjadi aku yang baru. Angkot ku datang dan berhenti tepat di sebelah warung. Aku segera berjalan menuju warung dan melihat lelaki itu tadi. Aku melihatnya sambil tersenyum dan menyapanya. Dia yang kaget disapa oleh ku hanya bisa terdiam dan tersenyum setelahnya.

hanya perasaanku saja atau memang dia senang karena merasa dianggap oleh orang lain. Hidup memang tidak ada yang tahu, yang pasti perubahan ke arah yang lebih baik itu perlu. Sekarang aku siap mengejutkan teman-teman di sekolah dengan penampilan baru ku, bukan untuk sombong atau pamer tapi untuk menunjukkan betapa aku bangga akan identitasku sebagai seorang muslim.

Perempuan itu terlalu berharga untuk menunjukkan auratnya di muka umum, jadi sebaiknya tutupi aurat kita untuk menjaga diri kita sendiri dan menghormati diri kita sebagai perempuan.

The End