Pada zaman dahulu, hiduplah keluarga pedagang kaya dengan seorang anak perempuan bernama Bawang Putih. Kehidupan keluarga itu sangat bahagia, Bawang Putih selalu ceria di bawah asuhan ayah dan ibunya. Apa yang diinginkanya sering dituruti oleh aya dan ibunya. Meskipun begitu ia bukanlah anak yang manja. Kebahagiaan yang dirasakan Bawang Putih tidak berlangsung lama.
Ibu Bawang Putih mengidap penyakit aneh. Penyakit itu terus menggerogoti tubuhnya, sampai akhirnya meninggal dunia ketika Bawang Putih masih berusia 5 tahun. Bawang Putih menangis sedih. Begitu sedihnya ia hingga kadang-kadang sampai pingsan.
Sejak kematian ibunya, Bawang Putih menjadi pendiam dan sering menangis sendirian. Bila teringat pada ibunya, Bawang Putih pergi ke makam ibunya. Di situ, ia menangis sambil merangkul nisan makam ibunya. Hal ini sering dilakukan sampai menjelang larut malam. Bahkan, ia pernah tertidur di makam ibunya. Melihat Bawang Putih, ayahnya menjadi sedih.
Setiap saat, Bawang Putih selalu dihibur dengan kata-kata manis. Ia semakin dimanja oleh ayahnya. Tetapi usaha itu tidak membawa hasil. Bawang Putih tetap pemurung dan sering menangis. Karena kesedihan Bawang Putih karena ditinggal mati ibunya, akhirnya ayahnya berpikir untuk mencarikan pengganti ibunya. Ia menikah lagi. Ia berharap agar Bawang Putih bisa ceria kembali.
Wanita yang dinikahi ayahnya adalah seorang janda yang memiliki seorang anak. Anaknya sebaya dengan Bawang Putih, namanya Bawang Merah. Kehadiran ibu tirinya ternyata tidak membuat Bawang Putih bergembira. Ia justru semakin menderita. Ibu tirinya hanya lembut di hadapan ayahnya. Ketika ayahnya pergi, ibu tirinya bertindak kejam terhadap Bawang Putih. Bawang Putih dipaksa bekerja keras. Ia disuruh untuk mencuci pakaian, peralatan rumah tangga. Ia diharuskan melayani ibu tirinya dan Bawang Merah. Ibu tirinya menyuruh Bawang Putih tanpa mengenal waktu.
Ibu tirinya sering mencari-cari kesalahan Bawang Putih. Bila pekerjaannya beres, ia tidak pernah mendapatkan pujian. Bila ia melakukan kesalahan sedikit saja, ia akan dimaki-maki dan dipukul ibu tirinya. Ibu tirinya juga pilih kasih. Bawang Merah selalu diberi pakaian yang indah dan perhiasan. Bawang putih diberi pakaian yang lusuh, kotaor, dan ia dilarang mamakai perhiasan.
Makanan yang diberikan kepada Bawang merah dan Bawang putih juga dibedakan. Bawang Merah selalu mendapat bagian makanan yang enak-enak. Bawang Putih diberi makanan sekadarnya. Bahkan, bila Bawang Putih melakukan kesalahan, ia tidak diberi makan.
Pekerjaan yang sebenarnya tidak layak untuk anak seusia Bawang Putih, semua dikerjakannya. Sikap Bawang merah kepadanya juga mirip dengan ibu tirinya. Demikianlah, kesedihan Bawang Putih semakin menjadi-jadi. Tubuhnya berubah menjadi kurus kering, wajahnya pucat karena kurang tidur.
Bawang Putih tidak berani melaporkan perlakukan ibu tirinya kepada ayahnya. Ia takut ayahnya tidak percaya, karena setiap berada di hadapan ayahnya, ia seperti dimanja. Ia juga takut kalau ia melaporkan kepada ayahnya, ia akan dihukum ibu tirinya.
Suatu hari, ibu tirinya menyuruh Bawang Putih mencuci seonggok pakaian ke sungai. Pagi hari, Bawang Putih berangkat ke sungai untuk men-cuci pakaian tersebut. Sepanjang jalan, Bawang Putih selalu melamun me-mikirkan nasibnya Ia teringat pada ibunya yang telah meninggal dunia.
Menjelang siang cuciannya sudah selesai. Ia bergegas pulang. Sesampai di rumah, cucian itu dihitung oleh ibu tirinya. Ternyata ada yang hilang, pakaian milik Bawang Merah dan sebuah gayung dari tempurung kelapa.
Ibu tirinya marah bukan kepalang. Bawang Putih langsung dipukul sambil dimaki-maki. Bukan hanya itu, Bawang Putih dipaksa untuk mencari pakaian dan gayung yang hilang. Ia tidak diperbolehkan pulang sebelum ber-hasil menemukannya. Siang itu juga, Bawang Putih kembali ke sungai untuk mencari pakaian dan gayung yang hilang. Sesampai di sungai, ia menoleh ke sana ke mari barangkali ada pakaian dan gayung yang dicarinya.
Setelah beberapa lama mengamati tempat ia mencuci, ia tidak berhasil menemukannya. Dengan bersedih dan berlinang air mata, Bawang Putih mulai mencari dengan menyusuri aliran sungai. Di kejauhan ia melihat ada seorang laki-laki yang sedang memandikan sapi. Bawang Putih mendekatinya.
“Paman, apakah Paman melihat pakaian dan gayung saya yang hanyut?” sambil terisak-isak ia bertanya kepada orang tersebut.
“Aku tidak tahu, Nak. Coba tanyakan kepada Paman yang memandikan kerbau itu” jawab orang itu.
Sambil menangis, Bawang Putih menurutkan nasihat orang tersebut. Ia ber-jalan menyusuri pinggir sungai mendekati tempat orang yang sedang memandikan kerbau.
“Paman, apakah Paman melihat pakaian dan gayung yang hanyut?” kata Bawang Putih terisak-isak.
“Anak cantik, aku tidak tahu, Nak. Coba tanyakan kepada Paman yang memandikan kerbau itu” jawab orang itu.
“Paman, apakah Paman melihat pakaian dan gayung yang hanyut?” Sambil terisak-isak ia bertanya kepada orang tersebut.
“Aku tidak tahu, Nak. Coba tanyakan kepada orang yang sedang memandikan kambing itu” jawab orang itu memandang Bawang Putih dengan perasaan iba.
Setiap bertanya, ia selalu mendapatkan jawaban yang sama. Demikianlah, Bawang Putih terus berjalan menyusuri pinggiran sungai sambil menangis, badannya sudah terlihat letih sekali. Menjelang sore hari, Bawang Putih baru sampai di suatu tempat yang agak rimbun. Bawang Putih melihat ada seorang nenek sedang mencuci beras di pinggir sungai. Dengan tertatih-tatih, Bawang putih kemudian mendekat.
“Nenek, apakah Nenek melihat pakaian dan gayung yang hanyut?”
Nenek itu menoleh, kemudian menjawab, “Ada, Nak. Barangnya sudah saya bawa pulang. Bagaimana kalau kita ambil?”
Betapa gembira hati Bawang Putih. Ia mengangguk dan bisa tersenyum. Bawang Putih kemudian mengikuti si nenek menuju ke rumahnya tidak jauh dari sungai. Di perjalanan, Bawang putih bercerita tentang dirinya ketika ditanya nenek itu.
Ternyata, nenek itu adalah istri seorang raksasa yang suka makan daging manusia. Melihat si nenek pulang bersama Bawang Putih, si raksasa yang bernama Kala Glugutbumi itu sangat gembira. Ia beripikir akan bisa menikmati santapan lezat.
Si nenek kemudian menjelaskan tentang kisah hidup Bawang Putih, sampai ia datang ke tempat tersebut. Mendengar kisah yang memilukan itu, raksasa berubah menjadi kasihan kepada Bawang Putih. Oleh karena itu, ketika Bawang Putih berpamitan pulang, raksasa memberikan hadiah buah labu.
“Jangan dipecah sebelum sampai engkau sampai di rumah,” kata raksasa itu dengan suaranya yang besar dan keras. Bawang Putih mengangguk.
“Terima kasih. Saya tidak akan melupakan jasa baik Kakek dan Nenek” kata Bawang Puti dengan nada tulus.
Setelah tiba di rumah, buah labu itu langsung dipecah di hadapan ibu dan saudara tirinya. Betapa terkejutnya, begitu buah itu pecah, di dalamnya tersimpan berbagai perhiasan emas, intan, dan berlian begitu banyaknya. Perhiasan itu langsung diminta oleh ibu tirinya dan diberikan kepada si Ba-wang Merah.
“Dari mana kamu mencuri perhiasan itu?” tuduh ibu tirinya. Bawang Putih tidak bisa berbohong. Ia akhirnya bercerita tentang asal buah labu itu.
Keesokan harinya, Bawang Merah disuruh ibunya untuk melakukan seperti apa yang telah dialami oleh Bawang Putih. Bawang Merah diminta menghanyutkan pakaiannya dan pura-pura mencarinya. Ia minta tolong kepada nenek tua.
Benar juga, Bawang Merah juga dilayani seperti halnya Bawang Putih. Ketika ia berpamitan pulang, ia juga diberi buah labu. Betapa senangnya Bawang Merah dan ibunya. Namun setelah buah itu dipecah, bukannya perhiasan yang ada, tetapi berupa binatang melata yang membayakan seperti ular, kalajengking, dan kelabang. Binatang-binatang itu langsung menyerang Bawang Merah dan ibunya hingga tewas seketika.
Ayahnya baru tahu semua perbuatan ibu tirinya dan Bawang Merah setelah Bawang Putih menceritakan semuanya. Ayahnya merasa bersalah kepada Bawang Putih, ia pun minta maaf kepada anaknya. Sejak saat itu, kehidupan Bawang Putih dan ayahnya kembali berbahagia.