Kaulah Inspirasi Hijrahku
Penulis : Debby Amelia
Pagi ini adalah hari pertama aku kuliah. Aku berangkat kuliah bersama temanku. Kebetulan sebelum kuliah aku sudah punya teman dekat. Ria, cewek cantik, lembut tutur katanya bagai sutra. Bersamanya kunikmati perjalanan dari rumah kos menuju kampus. Seragam hitam putih yang kami kenakan, mengingatkanku pada SPG yang ada di mall-mall besar dikota. Namun, ketika sedang asyik bercanda, kulihat beberapa orang berkumpul di gerbang kampus
dengan pakaian yang serba panjang dan besar layaknya masyarakat yang ada di Arab.
“Ria, lihat tuh disana, ada banyak orang berjubah.”
“Heiii kamu itu, bukan jubah namanya, itu yang disebut pakaian syar’i.”
“Syar’i apaan sih? Emang nggak panas ya pakaian seperti itu?”
“Panas atau enggaknya itu tergantung dari niat mereka berpakaian Tine”
Sampai di kelas, kelas sudah banyak orang. Kemudian pukul setengah delapan tepat dimulailah perkuliahan. Perkuliahan diawali dengan perkenalan dan dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh dosen. Materi yang disampaikan adalah mata kuliah Pendidikan kewarganegaraan yang membahas undang-undang tentang hak warga negara untuk bebas memilih agama sesuai kepercayaannyaa. Antusias kelas belum terlalu terlihat, namun sudah banyak yang mau menyampaikan masalah, sanggahan ataupun usulan.
Perkuliahan hari pertama selesai, teman-teman mengajakku makan dikantin, akupun mengiyakan nya. Setibanya dikantin, ada seorang aktivis kampus yang sedang memberi pengarahan kepada adik tingkat mengenai masalah berpakaian yang baik.
“Andaikan Tine mau ikut berpakaian kayak gitu, pasti cantik, daripada rambut kamu ikat seperti ekor kuda kaya gituu” celoteh Ken untuk memecah kekakuan kumpulan kami karena kami baru pertama kali bertemu. Ken adalah teman satu komplek di kontrakanku, tapi aku baru kenal setelah kita ketemu dikelas pertama ini.
“Apaan sih, enggak mau lah, udah panas, gak ada style nya lagi. Itu kaya ibu-ibu mau pengajian
tauuu…”
“aku punya lohh jilbab kayak yang dijelasin kakaknya itu, barangkali kamu mau nyoba Tine, hehe” Ria juga mulai ikut menggangguku.
“Haha, Ria ada-ada aja nih.. nggak cocok tauu buat aku, kamu tuh lebih cocok”
Setelah makan selesai, kita berkemas untuk membayar dan pulang. Di rumah, kurehatkan sejenak badanku di sofa depan televisi dan kunyalakan televisinya. Kucari-cari mana yang channel yang ingin aku lihat. Semua membosankan, semua stasiun televisi berisi masalah korupsi yang sedang hangat dibicarakan. Kumatikan televisi, kemudian aku masuk ke kamar dan mulai atur posisi untuk bermain gadget, stalking olshop fashion dan akhirnya ketiduran.
Belum lama aku merasakan indahnya mimpi jalan-jalan di mall, tiba-tiba ada suara yang masuk didalam mimpiku “Permisi, Tine aku diluar nih.” Suaranya seperti tidak asing di telingaku, antara sadar dan setengah sadar akupun berjalan perlahan keluar. Mungkin terlalu lama dia memanggil-manggilku dari luar hingga kudapati dia terduduk lemas di bangku depan rumah.
Kulihat dia dari belakang, “Iya, siapa?” Kutanya dengan nada lirih karena belum semua kesadaranku terkumpul dan betapa terkejutnya aku karena yang duduk disana adalah Ken, teman satu komplek yang baru kenal tadi waktu dikampus. Kudekati dia dan duduk di bangku sampingnya.
“Lama banget sih keluarnya, aku sampai capek tauu nungguin kamu” Ken menggerutu
“Hehe, maaf tadi aku ketiduran, capek banget rasanya ini”
“Baru kuliah pertama aja udah capek, gimana besok kalau udah kerja haha” Dia meledekku lagi.
“Hanya perlu penyesuaian, besok juga bakal terbiasa capek kok.”
“Btw, ngapain kamu kesini? Ada hal pentingkah?”
“Enggak ada sih, niatnya cuma mau ngajakin kamu jalan-jalan sore aja”
Aku terdiam dan tidak bisa berkata apapun. Ken yang baru aku kenal, bahkan belum ada 24 jam kenal itu sudah mengajakku jalan.
“Emm, aku ada banyak pekerjaan rumah yang harus aku selesaikan, lain kali aja yaa” aku berusaha agar Ken percaya.
“Yakin nih ditolak???”
“Hahaha, apaan sih kamu Ken, kapan-kapan aja lah kita jalan-jalan, ajakin temen yang lain juga” Rasanya aku ingin segera menyudahi obrolan sore itu, semakin lama dia mengajakku ngobrol, semakin tinggi pula potensi aku membeku disitu karena serangan pertanyaan yang dilontarkan Ken. Adzan Magrib berkumandang, bergegaslah Ken berpamitan untuk pulang.
“Aku pulang dulu Tine, jangan lupa mandi yaa haha”
“Kennnnn!!!!! Dasar kamu itu menyebalkan!! . hati-hati dijalan, jangan sampai nyasar”
Setelah beberapa meter Ken berjalan dari rumahku, masuklah aku kerumah. Mandi, makan dan menyiapkan materi perkulliahan untuk besok. Esok hari, seperti biasa aku berjalan ke kampus bersama temanku, mengikuti perkuliahan, makan dikantin, dan pulang ke kontrakan lagi. Dan kegiatan monoton itu aku lakukan selama hampir tiga bulan.
Sengaja aku tidak ikut elkam atau kegiatan dikampus, karena menurutku itu terlalu banyak menyita waktu
belajar dan istirahat. Apalagi aku mahasiswa baru yang notabene materi kuliah belum pernah aku dapatkan di bangku SMA. Aku dan Ria duduk di bangku taman sembari menikmati sorot matahari oranye menyilaukan mata namun menghangatkan jiwa.
“Tine, Minggu depan UTS nih, kamu udah siap belum?”
“Udah sih, tapi yaa belum 100% yakin lah”
“Heii, kalian lagi ngobrol apasih? Kayaknya seru deh, boleh gabung nggak?” Suara Ken mengagetkan
“Boleh-boleh, sini duduk aja sama kita” Jawab Ria
Entah kode apa yang diberikan Ken untuk Ria, setelah sepuluh menit kita berbincang bersama, tiba-tiba dia pamit untuk ke kantin dengan alasan mau beliin kita makanan dan minuman. Dan tinggal Aku, Ken, dan kucing yang duduk manis didepan kita seolah dia ingin mengetahui apa yang terjadi. Angin yang bertiup sepoi tidak membuatku tenang, namun sebaliknya. Rasanya tegang duduk berdua dengan Ken seperti mau melaksanakan Ujian CPNS yang menentukan masa depan. Oh Tuhan, beri aku ketenangan.
“Tine, kok diem aja sih? Tadi aja waktu ada Ria, kamu yang paling seneng ngomong”
“Emm, lah emang aku harus ngapain? Nyanyi, apa orasi??”
“Haha, kamu kok lucu banget sih yaa, jadi gemes deh. Kayaknya kalau kamu ikut Stand Up Comedy juara tuh”
“Tu kann,, kamu hobi banget sih ngeledekin aku”
“Iya-iya enggak, aku mau ngomong agak penting sama kamu, boleh nggak?”
“Ngomong tinggal ngomong lah, pake minta ijin segala, kayak mau ke kamar mandi waktu perkuliahan aja sihh”
“Aelah, serius nih.. Sebenernya aku pengen deket lebih jauh sama kamu, aku dari awal tuh udah nyaman deh kenal sama kamu, kamu itu punya ruang spesial deh lubuk hatiku.”
Seperti Malin Kundang yang dikutuk ibunya, tubuhku kaku bagai batu. Kekhawatiran ku selama ini benar terjadi, aku yang belum mengetahui seluk beluk diri Ken, tiba-tiba dia menembakku. Alhasil setelah beberapa saat terdiam aku mencoba memberanikan diri untuk menjawabnya.
“Kamu mau nerima aku apa adanya untuk jadi temanmu?”
“Aku akan menerima segalanya Tine”
Dan aku menerima Ken sebagai teman dekatku.
Tiga bulan berlalu, tidak ada yang aneh dengan hubungan kami. Ketika aku sedang mengerjakan tugas, tiba-tiba ponselku berdering. Pesan dari Ken
“Tine, besok keluar yuk” ajak Ken padaku
“Kemana?? Jangan jauh-jauh ya, kan aku belum terlalu tahu daerah disini”
“Kamu tahu Masjid Raya kan? Kita kesana yuk, besok Minggu ada pengajian akbar tuh disana”
“Maaf ya Ken, aku enggak bisa. Udah ada jadwal lain nih”
setiap dia mengajakku untuk pengajian, beribadah bersama, selalu aku menolaknya dengan beribu alasan yang mungkin Ken beranggapan itu tidak masuk akal. Hari ini selesai lebih cepat karena ada salah satu dosen pengajar tidak bisa hadir. Anak-anak bergegas untuk pulang. Tinggal Aku, Ken, dan tentu saja Ria yang ada di dalam kelas.
“Ken, aku boleh tanya sesuatu enggak sama kamu?”
“Cie cieee, mau ngobrol serius nih kayaknya, Aku pulang dulu yaaa..” Bergegaslah Ria keluar mengikuti teman-teman yang lain
“Tanya aja lah, biasa aja sama aku. Kayak orang baru kenal aja deh”
“Kamu tau enggak sih kenapa aku selalu nolak kamu buat pergi ke Masjid lah, beribadah bareng lah, gitu?”
“Enggak, emang kenapa sih? Baru aku mau tanya itu ke kamu, kamu udah cerita duluan”
“Aku takut kalau aku cerita, kamu enggak mau jadi temanku lagi”
“Heiiii, ada apasih? Coba cerita sama aku? Mungkin kalau ada masalah, aku bisa bantu kamu”
Dengan nada sedih aku menguatkan hati untuk bercerita “Jadi gini, sebenarnya aku bukan seorang muslim.”
Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, dan tanpa terucap sepatah kata pun dari Ken, dia begitu saja meninggalkanku sendiri didalam kelas. Ekspresi Ken mengisyaratkan sebuah perasaan yang kaget amat sangat. Aku sadar aku salah, selama ini aku telah menyembunyikan kebenaran yang sangat besar.
Esok hari, bangku yang biasanya penuh empat puluh orang termasuk Aku, kini kurang satu. Ken, ya dia tidak ada. Seminggu berlalu belum juga masuk. Setiap hari aku hubungi, dan hasilnya nol. Teman yang lain pun tidak tahu dimana keberadaan Ken, sekalipun Ria yang paling dekat dengan Ken. Dia hilang bagaikan asap yang tersiram air. Tak bersisa tak ada jejak. Aku menyesal, selama ini aku telah membohongi orang yang tidak punya masalah apapun
padaku.
“Ria, semenjak Ken menghilang, aku merasa ada yang kurang”
“Tine, tidak ada yang harus di sesali. Semua sudah terjadi, tinggal bagaimana cara kita menyikapi. Aku juga kaget mendengar cerita Ken kalau kamu menyembunyikan kebenaran itu. Namun, apa boleh buat”
“Ri, kamu mau kan mengajariku menjadi muslim? Membimbingku dari nol. Aku tahu bahwa itu sulit, tapi aku mohon, ajari aku!”
“Kamu yakin kamu mau jadi muslim? Atas dasar apa?” dengan Kaget Ria menanyai ku seperti itu
“Aku ingin mempelajari islam lebih lanjut, karena aku terinspirasi oleh Ken. Dan aku sudah yakin”
“Alhamdulillah, sekarang ayo ikut aku ke masjid dibelakang kampus, nanti aku akan bilang kepada ustadz yang ada disana untuk membimbingmu. Semoga Allah meridhoi mu Tine”
Bergegas dengan terharu, Ria mengajakku untuk ke masjid dibelakang kampus. Disana aku
dipertemukan dengan ustadz Ali. Dan beliau lah yang menjadikan aku muslim. Setiap hari, aku sempatkan untuk menyambangi masjid dimana hanya sekedar sholat berjamaah atau bahkan ikut pengajian. Mempelajari lebih lanjut apa itu agama islam. Memperbaiki diri dan penampilan menjadi muslimah yang disukai Allah SWT.
Setahun kemudian, ada pengajian akbar dikampus. Dengan sangat antusias aku mengikutinya, bahkan aku mencalonkan diri sebagai panitia pelaksanaan pengajian akbar tersebut. Waktu pelaksanaan pengajian tiba, dan aku tidak mengetahui siapa pengisi materinya.
“Kita sambut dengan sholawat, pengisi materi kita Ustaz Muhammad Keni Alfaizi” suara MC diikuti dengan sholawat dan tepuk tangan para hadirin pengajian akbar. Materi yang disampaikan sangat menyentuh, sesuai dengan tema yang diangkat dalam pengajian tersebut yakni “HIJRAH”. Setelah pengajian berakhir, aku menyempatkan diri untuk menemui ustaz tersebut dan ingin sedikit berkonsultasi mengenai masalah agama. Berjalanlah aku menuju
ruang khusus untuk pengisi materi
“Assalamualaikum”
“Waalaikumussalam, silahkan masuk” suara ustadz itu sungguh menentramkan hati. Setelah aku masuk, aku dipersilahkan duduk oleh ustadz itu sendiri. Mulailah pembicaraanku dengan ustaz itu
“Sebelumnya, saya meminta maaf karena saya mengganggu waktu istirahat ustaz”
“Oh iya, tidak apa-apa.. apa yang akan saudari tanyakan? Apakah yang saya sampaikan tadi ada yang salah?”
“Tidak ustaz, saya hanya ingin meminta maaf kepada ustaz. Saya sangat terinspirasi dengan kehidupan ustaz. Setelah saya mengenal ustaz saya menjadi banyak berubah, bahkan semenjak ustaz pergi saya memutuskan untuk menjadi mualaf”
Wajah ustaz yang semula tenang menjadi memandang tajam kearahku. Dengan mengucapkan Basmalah dalam hati, perlahan aku membuka cadar yang sedari tadi hanya memperlihatkan
kedua bola mataku”
“Tine? Benarkah itu kamu?”
“Iya ustadz. Aku adalah Tine yang dulu, yang pernah menyembunyikan kebenaran besar dari ustadz”