Melupakan Dia Demi Dia

Melupakan Dia Demi Dia

Penulis : Rahmi Paradisa Alwanda

Gadis berambut pirang berombak itu berjalan di tepi pantai Florya, Istanbul, Turki.  Kaki lembutnya berlarian di atas pasir. Kulit putih, bersih, tubuh semampai dan mata coklatnya mampu menyihir siapapun yang melihatnya. Ia adalah seorang gadis keturunan Indonesia – Turki. Ayahnya seorang pengusaha sukses, sedangkan ibunya seorang wanita kelahiran Surabaya secantik dirinya.

Hari itu adalah hari pertama Nania menginjakkan kaki di tanah kelahiran ayahnya. Ia berumur 18 tahun saat itu. Baru lulus SMA dengan nilai memuaskan, sangat memuaskan. Tertinggi di kotanya. Sudah 19 tahun Ayah Nania tidak pulang. Bukan tidak ingin, tetapi tidak ada tempat untuk pulang. Kedua orangtuanya sudah meninggal dan dia adalah seorang anak tunggal.

Kepulangan mereka hari itu bukan sekadar karena kerinduan akan Istanbul. Ayah Nania melihat peluang bisnis disana dan memutuskan pindah. Jadilah Nania melanjutkan pendidikan disana. “Baba, Nania suka Istanbul! Seharusnya kita tinggal disini dari dulu! Udaranya sejuk, beda sama Jakarta.” Baba dan Mama Nania hanya tersenyum renyah memperhatikan Nania dari jauh sambil sesekali tertawa kecil melihat tingkah gadis kecil mereka yang telah beranjak dewasa.

Sama seperti ayahnya, Nania juga seorang anak tunggal. “Ba, kita jangan balik ke Jakarta ya? Ayo tinggal disini selamanya?” Nania bersemangat. “Loh, katanya kamu mau langsung balik ke Jakarta kalau kuliahnya sudah selesai?” kata mama Nania heran.

“Iya, kemarin malah susah diajak kesini karena nggak mau ninggalin modeling,” baba Nania menimpali.

“Ngga jadi, disini juga bisa jadi model.” Nania menjawab dengan ketus.

Waktu liburan panjang berakhir. Saatnya Nania memulai kuliahnya. Ia ingin menjadi seorang desainer terkemuka, jadi Ia mengambil jurusan yang selaras. Kemudian dari sanalah kisah Nania dimulai. Pagi itu dengan bersemangat Nania menaiki sebuah bus yang menuju kampusnya. Nania sudah membayangkan hari ini akan berjalan menyenangkan.

Dengan setelan celana jeans dan baju tanpa lengan Nania melenggang memasuki gerbang kampus. Namun, seseorang merusak suasana hatinya pagi itu. Ia tertabrak seorang pengendara sepeda hingga jatuh. “Eh punya mata nggak sih? Ngga liat ada orang jalan? Kalau ngga bisa bawa sepeda mending jalan kaki aja !” Nania berteriak
marah.

“Maaf maaf, mari saya bantu,” kata pemuda tersebut sambil menjulurkan tangannya membantu Nania bangun. “Kamu nggak papa? Ada yang luka? Halo? Halo?”Nania malah tertegun memandangi wajah tampan pria tersebut.

“Kamu baik-baik aja?” tanyanya kembali.

“Oh iya, nggak papa, Cuma luka sedikit tapi nggak papa. Umm, kenalin Nania,” kata Nania sambil menjulurkan tangannya ingin bersalaman. Tetapi bukannya menjabat tangan Nania, pemuda itu malah mengatupkan kedua tangannya di depan dada.

“Nama saya Gibran, kamu dari Indonesia juga?”

“Iya, baru pindah, kamu sendiri? Dari Indonesia juga?”

“Iya, dari Surabaya. Yaudah kalau nggak papa, saya duluan. Assalamualaikum.”

“Oh? Ha? Wa… waalaikumussalam.” Jawab Nania tergugu.

Pemuda bernama Gibran tersebut telah mencuri hati seorang Nania. Sejak hari itu, Nania mulai mencari tahu segala hal tentang Gibran. Dimana dia tinggal, dengan siapa dia berteman, makanan kesukaannya sampai statusnya. Apakah Gibran sudah memiliki seorang kekasih atau belum. Setelah mengetahui ternyata Gibran belum
memiliki seorang kekasih, Nania mencoba berbagai cara untuk mendekati Gibran.

Hari itu Istanbul sangat dingin, suhu udara menurun. Nania menemui Gibran sepulang kuliah. “Gibran, mau minum kopi bareng? Cuacanya dingin banget,” ajaknya.

“Tidak baik wanita dan pria yang bukan muhrim pergi berduaan.”

“Nggak romantis banget sih,” Nania mengutuk dalam hati.“

“Tapi kan kita nggak berduaan, ada banyak orang di kedai kopi,” Nania berusaha meyakinkan.

“Sama aja,” jawab Gibran kemudian berlalu meninggalkan Nania yang merasa kesal karena usahanya hari itu gagal.
Di hari lain, Nania mengikuti Gibran ke perpustakaan. Ia tampak sengaja memasuki perpustakaan untuk mengahangatkan diri. Entah lupa membawa mantelnya atau apa, tetapi Gibran hanya mengenakan kemeja berbahan tipis.

Dengan spontan Nania melepas mantelnya dan mengenakannya pada Gibran yang tengah duduk di belakang meja. Gibran yang terkejut langsung melompat dari kursinya. “Apa yang kamu lakukan?” tanyanya.

“Apa? Kamu kedinginan, aku cuma kasih mantelku ke kamu,” Nania menjelaskan.

“Kamu bisa pakai mantel kamu sendiri. Saya permisi, assalamualaikum.” Seperti biasa Gibran pergi begitu saja seolah tidak mau berinteraksi dengan Nania.

Sepulang dari kampus Gibran biasanya bekerja paro waktu di sebuah toko perlengkapan muslim. Nania memintanya mengajaknya ke toko tempat dia bekerja. Awalnya Gibran menolak, tetapi dengan sedikit paksaan dari Nania akhirnya Gibran mengizinkannya ikut. Sesampainya di toko, Gibran memperkenalkan Nania dengan seorang gadis bercadar. Namanya Sarah, dan dia tidak kalah cantik dengan Nania. Matanya tajam dan indah. “Assalamualaikum ukhti,” sapa sarah. “Saya Nania, pacarnya Gibran,” kata Nania mengejutkan. “Apa maksud kamu?,” protes Gibran.

“Apa kamu dan Gibran sudah menjadi sepasang kekasih?,” tanya Sarah penasaran. “Tentu saja, kami berpacaran,” Nania meyakinkan.

“Nania, apa yang kamu katakan? Maaf Sarah, Nania hanya bercanda. Kami hanya teman kuliah, itu saja, tidak lebih.”
“Hanya teman kuliah? Kamu anggap kita hanya teman kuliah? Selama hampir satu tahun ini, kamu bilang kita hanya teman kuliah?,” kata Nania sambil mulai menangis.

“Apa yang sedang kamu bicarakan Nania?” Lalu tiba-tiba Nania memeluk Gibran.

“Astaghfirullahalazim. Nania sadarlah, apa yang sedang kamu pikirkan sekarang?”

“Aku mencintaimu Gibran, aku sangat mencintaimu. Aku mengikutimu hampir setiap hari, mencari tahu hal-hal yang kamu suka dan tidak sukai, berpakaian sebaik- baiknya, merias wajahku. Tapi bagaimana dengan kamu? Kamu selalu menghindariku tanpa peduli yang aku lakukan. Kamu tidak pernah melihatku walau sebentar. Aku mencoba memoles wajahku lebih mencolok tapi kamu tetap mengacuhkanku. Aku berpakaian lebih seksi dan kamu malah semakin menjauh. Lalu apa yang kamu inginkan Gibran? Apa? Kamu ingin harga diriku? Kamu ingin semuanya? Apapun Gibran, apapun. Katakan apapun yang kamu inginkan dariku agar aku bisa dicintai olehmu, katakan Gibran!” Nania kini sudah dibanjiri air mata.

“Nania dengarlah. Jangan rendahkan harga dirimu hanya demi cinta yang semu, jangan pertaruhkan dirimu untuk ketidakpastian duniawi. Wanita itu seperti gelas, jika pecah Ia takkan kembali utuh seperti semula. Jangan kau pikir dengan segala kecantikan dan keelokan tubuhmu kau dapat menarik perhatian semua lelaki. Jangan
pikir dengan rok pendek dan baju terbuka yang kau kenakan kau dapat menarik setiap kumbang untuk datang. Kamu cantik dan berpendidikan Nania, jangan menghinakan dirimu.”

“Apa wanita ini alasannya? Apa karena dia kamu mengabaikan aku? Apa bagusnya dia dari aku? Dia bahkan tidak berani menunjukkan wajahnya. Kamu tahu Gibran, ada banyak lelaki yang mendekatiku, mereka bilang bagaimana mungkin wanita secantikan diriku bisa menyelesaikan sekolah dengan baik. Bagaimana seorang model profesional bisa jadi wanita terpelajar sekaligus. Tapi lihat dirimu, kamu membuatku bagai virus menular yang tidak pantas didekati. Kamu memperlakukanku seperti sesuatu yang menjijikkan.”

“Bukan aku Nania, tapi kamu sendiri yang membuat dirimu terlihat begitu.”

“Aku anggap ini sebuah penolakan Gibran, kamu menyakiti harga diriku. Jika menjauhimu adalah yang kau inginkan, baik. Aku akan pergi.” Naniapun pergi meninggalkan toko tempat Gibran bekerja.

“Nania tunggu Nania, jangan pergi dulu, aku harus menjelaskan sesuatu,” Sarah mencoba menghentikan
Nania tapi Nania sudah memasuki sebuah taksi.

“Tidak perlu dikejar Sarah, dia akan belajar banyak dari hari ini,” ucap Gibran lemah.

“Tapi Gibran, bagaimana mungkin kamu membiarkan wanita yang..” ucapan Sarah terputus. “Sudahlah Sarah, aku yakin rencana Allah selalu indah.”

Siang itu juga Nania memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Jika Nania sudah memutuskan, orangtuanyapun tidak dapat mencegah. Di Jakarta Ia dijemput neneknya yang datang dari Surabaya, Ia akan menemaninya setidaknya sampai suasana hatinya membaik.

“Nek, kenapa laki-laki itu memperlakukan Nania seperti ini? Nania pikir dia jodoh Nania, tapi sepertinya Nania salah,” sesalnya.

“Nak, boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal dia amat baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal dia amat buruk bagimu, Allah maha mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.”

“Lalu Nania harus apa nek? Hati Nania sudah hancur.”

“Nania sayang, jika tidak kamu temukan jalan keluar, kembalikan semuanya pada Allah. Berpegang teguhlah, Dia adalah tiang disaat tiang yang lain menghianatimu. Nenek hanya bisa menunjukkanmu pintu, kamulah yang harus berjalan melewatinya.” Betapa banyak jalan keluar yang datang setelah kesusahan. Siapa yang berbaik sangka pada Pemilik ‘Arasy dia akan memetik manisnya buah yang dipetik di tengah-tengah pohon berduri.

Berhari-hari bahkan berminggu-minggu Nania larut dalam kesedihan. Tetapi suatu ketika dia ingat pesan nenek. “Jangan bersedih, karena kita masih memiliki doa, kita boleh bersimpuh di hadapan Yang Maha Kuasa, kita dapat memperoleh ketenangan dari Sang Raja Diraja, kita juga masih memiliki waktu sepertiga akhir malam untuk menempelkan dahi ke tanah, mengadu pada Pencipta Semesta.”

Nenek benar, pikir Nania. Selama ini dia sudah jauh dari penciptanya, dia terlalu mengejar dunia. Nania mungkin memiliki seluruh kesempurnaan duniawi, tetapi hatinya dipenuhi kegalutan. Sebab mungkin Allah sengaja memberinya peringatan karena dia berlari terlalu jauh. Allah membentangkan tangan-Nya di siang hari agar orang yang berdosa di malam hari dapat bertaubat, Allah membentangkan tangan-Nya di malam hari agar orang yang melakukan kesalahan di siang hari dapat bertaubat. Hingga nanti, ketika matahari tak terbit lagi di timur.

Setahun setelah meninggalkan Istanbul, Nania memutuskan berhijab, menutup seluruh keelokan tubuhnya, menjaga dirinya dari pandangan mata yang tak pantas melihat. Melupakan dia yang bukan miliknya. Mendekatkan diri kepada Dia yang memilikinya.

Enam tahun berlalu. Sekarang Nania adalah seorang desainer busana muslimah tersohor. Ia mempunyai beberapa butik di beberapa daerah di Indonesia. Bahkan Ia sering diundang mengikuti fashion show kelas dunia. Tidak hanya seorang desainer, Ia juga seorang motivator muda yang sangat dikagumi kalangan remaja. Nania yang dulu seorang model berhijrah menjadi seorang muslimah cantik yang terjaga. Rok mini dan baju tanpa lengannya berubah menjadi pakaian longgar yang menutupi lekuk tubuhnya.

Nania yang dulu gemar ke salon merias rambut dan kukunya malah jatuh cinta dengan berhijab. Tidak ada lagi riasan tebal dan gincu merona. Kecantikan yang terpancar dari dirinya tidak perlu dilapisi riasan merk apapun lagi. Puasa sunah dan solat malampun tidak dia tinggalkan. Seorang pelacurpun bahkan bisa menjadi ahli surga jika dia mau bertaubat. Suatu waktu setelah fashion show busana muslimah terbarunya di Surabaya, seseorang menghampiri Nania. “Assalamualaikum,” sapanya. “Waalaikumussalam, ada yang bisa saya….” Alangkah terkejutnya Nania melihat seseorang yang ada di hadapannya.

“Kamu? Bagaimana?”

“Sudah lama ya, kamu sudah sukses sekarang. Beberapa tahun ini saya
mencari-cari kamu di Turki. Saya menanyakan pada orangtua kamu, tapi mereka bilang kamu melarang mereka memberi tahu keberadaanmu, tapi akhirnya orangtuamu luluh juga. Saya mengerti kamu marah. Oh ya, Satu tahun terakhir saya menetap di Indonesia, mengembangkan bisnis sendiri,.”

Nania masih terdiam kaku, Dia memulai percakapan kembali. “Bagaimana kabar kamu Nania?” Tanya pemuda itu. “Alhamdulillah baik, bagaimana dengan kamu Gibran?” Nania menjawab dengan terbata-bata. “Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat, sangat baik. Saya memperhatikan kamu beberapa bulan ini, bertanya-tanya bagaimana
kehidupan kamu sekarang.”

“Ya, seperti yang kamu juga bisa lihat.”

“Bukan itu maksud saya, saya mencari-cari waktu yang tepat.” Dia terdiam sebentar.

“Nania Grabiella Kusuma Osgun, maukah kamu ta’aruf dengan saya, Muhammad Yusuf Gibran?” Alangkah terkejutnya Nania dengan apa yang baru saja dia dengar, pipinya memerah, hatinya bergetar.

“Apa yang baru kamu katakan Gibran? Beberapa tahun yang lalu kamu menginginkan saya pergi dari hidup kamu, kamu memperlakukan saya seperti virus, kamu ingat? Lalu hari ini tiba-tiba kamu datang dan bilang ingin ta’aruf dengan saya?” Nania benar-benar bingung.

“Lantas siapa yang tidak jatuh cinta dengan seorang calon bidadari surga?” Hening sesaat dan Gibran
melanjutkan. “Saya sudah meminta restu kedua orangtua kamu, juga kakek dan nenekmu. Saya menunggu jawabanmu.” Maka wanita itu haknya adalah diam dan jawabannya sekedar anggukan. Lalu tersisa senyuman dan tawa kecil di antara mereka berdua.

Beberapa bulan berikutnya mereka telah melakukan Persiapan pernikahan. Wanita baik adalah untuk lelaki baik, dan wanita yang buruk adalah untuk lelaki yang buruk pula. Ketika Nania mengejar cinta Gibran, Allah jauhkan Gibran darinya. Ketika Nania mengejar cinta Allah, Allah datangkan Gibran untuknya.

Sesungguhnya jodoh, rezeki dan maut sudah Allah tentukan dan tidak akan pernah tertukar. Maka pantaskan dirimu untuk menjadi jawaban dari doa-doanya. Cintai Allah dulu sebelum kau cintai ciptaan-Nya, karena Allah bahkan mencintaimu lebih dari kau mampu mencinta-Nya.

Lalu jangan bersedih jikau kau belum berada dalam suatu hubungan, mungkin Allah sedang menjagamu dari hubungan yang haram. Hanya saja wanita kadang lupa betapa berharganya dia, dia adalah intan permata, bukan batu yang dimanapun ada.

The End